Isu Privasi: Melihat Proses Penyadapan dari Sudut Pandang Hukum

by - 03.14

Kemunculan telepon genggam memang memudahkan kehidupan umat manusia. Akan tetapi, kemunculan handphone juga menimbulkan suatu fenomena, yaitu penyadapan. Dengan menyadap handphone seseorang, kita dapat mengetahui isi percakapan seseorang dengan orang yang lain tanpa sepengetahuan orang yang disadap. Biasanya, hal ini dilakukan untuk mengetahui rahasia atau informasi yang disembunyikan. Fenomena penyadapan menuai pro dan kontra dari publik.



Ada yang berpendapat bahwa penyadapan dinilai sebagai hal yang boleh dilakukan asalkan tujuannya baik. Salah satu contoh nyatanya adalah mahasiswi yang curiga dengan perubahan perilaku ibunya. Lalu, ia memutuskan untuk menyadap telpon genggam ibunya. Alhasil, sang anak tahu bahwa ibunya berselingkuh dengan pria lain. Ada pun contoh lain, yaitu pelaku eskploitasi manusia yang dipenjara karena transaksi ilegalnya terbongkar karena penyadapan.

Dari sudut pandang lain, penyadapan dipandang sebagai pelanggaran privasi. Privasi merupakan sebuah ruang dimana seseorang dapat melakukan suatu hal tanpa diawasi oleh pihak lain. Sebagai analogi, terdapat sebuah rumah. Ruang tamu dianggap sebagai ruang publik yang dapat diakses oleh tamu yang ingin berjumpa dengan pemilik rumah. Lain halnya dengan kamar seseorang yang tidak boleh diakses oleh sembarang orang. Kamar tidur dalam suatu rumah dapat digambarkan sebagai privasi. Tentunya, seseorang tidak ingin ruang privatnya ditembus oleh pihak lain karena hal tersebut dapat merusak hak untuk mendapatkan kebebasan.

Sesungguhnya, kedua sudut pandang tersebut tidaklah salah. Terdapat argumen yang masuk akal dari masing-masing pendapat. Namun, bagaimana hukum di Indonesia memandang fenomena penyadapan?

UUD 1945 Pasal 28 G ayat 1 menjelaskan bahwa: “ Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Wah, berarti setelah membaca undang-undang di atas, penyadapan itu tidak boleh dilakukan dong? Sangat jelas bahwa penyadapan membuat data keluarga, martabat, dan harta benda seseorang menjadi tidak terlindungi, bukankah begitu? Jangan terburu-buru menyimpulkan dulu, kawan!

Pasal 32 UU No.39 tahun 1999: “Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Dari sini, kita mengetahui bahwa ternyata penyadapan boleh dilakukan, asal harus melalui persetujuan hakim. Mahkamah Konstitusi RI memiliki peran untuk memutuskan apakah penyadapan terhadap seseorang harus dilakukan atau tidak. Namun, penyadapan tidak dapat dilakukan sesuka hati. Penyadapan hanya dapat dilakukan untuk tujuan penegakan hukum. Cara dan sistematika penyadapan pun sudah diatur dalam undang-undang. Selain itu, Mahkamah Konstitusi tidak bisa sembarangan memilih siapa yang ia ingin sadap. Penyadapan dilakukan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam kasus: tipikor, jual-beli narkotika, perdagangan manusia, dan pencucian uang.

Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) juga merupakan lembaga negara yang memiliki hak untuk melalukan penyadapan tanpa harus meminta izin kepada pengadilan terlebih dahulu. Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua mengaku banyak terduga koruptor sukar dilacak lantaran cerdik menyembunyikan alat bukti. Alhasil, komisi antirasuah menyadap ponsel mereka untuk mencari jejak korupsi. Dari penyadapan, penyidik menemukan bukti yang kuat untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka korupsi. Banyak pekerja pemerintahan yang berhasil dipenjarakan KPK menggunakan teknik penyadapan telepon, beberapa di antaranya: Akil Mochtar dan Rubi Rubiandini.

Nah, sekarang kita sudah tahu pandangan hukum di negeri kita mengenai penyadapan. Apabila dikaitkan dengan konsep privasi, memang setiap warga negara memiliki hak untuk memiliki ruang pribadi dan dilindungi data-data pribadinya. Hal ini dibahas dalam UUD 1945 pasal 28. Namun, ada suatu konteks yang memungkinkan warga negara ditembus ruang privatnya melalui penyadapan. Hal tersebut hanya dapat dilakukan dengan dua syarat: atas izin MK ataupun KPK untuk tujuan penegakan hukum. Apabila dua syarat tersebut tidak terpenuhi, penyadapan tidak lagi menjadi sebuah proses yang legal, melainkan merupakan tindak kriminal dan pelakunya dapat dijatuhi hukuman,

Semoga artikel ini bermanfaat dan menambah pengetahuanmu ya, kawan!

Salam hangat,
Patricia Stella Harefa – 1506685896.

REFERENSI:
Hamzah, Andi, (2010). Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.


You May Also Like

1 komentar