Pada akhir bulan Mei 2017, video audisi Biskuat Semangat yang sebenarnya sudah ada sejak tahun 2013 lalu menjadi booming di media sosial. Beranda LINE News, Instagram, Path, Twitter, dan Facebook dipenuhi oleh cuplikan-cuplikan video audisi yang diikuti oleh anak-anak dari seluruh penjuru Indonesia dengan rentang usia berkisar dari 6-12 tahun.
Salsa, salah satu peserta Audisi Biskuat yang menjadi sasaran empuk Bully oleh netizen. |
Namun, yang menjadi perhatian penulis dari kasus ini bukanlah pada anak-anak yang mengikuti audisi tersebut maupun pihak Biskuat, tetapi pada netizen yang mengomentari video-video tersebut. Memang ada beberapa komentar yang sifatnya membangun. Namun, tidak sedikit komentar negatif yang memenuhi kolom komentar pada akun Youtube Biskuat. Para netizen seakan berlindung pada ‘payung’ anonimitas sehingga merasa bebas untuk meluapkan apapun yang ada dipikirannya saat itu. Terlebih lagi yang menjadi pendorong bagi mereka untuk berkomentar adalah inivisibilty, yang berarti tidak ada satu orang pun yang mengetahui rupa komentator secara fisik.
sumber: Youtube |
Kebebasan-kebebasan tersebut pada akhirnya mengarah pada suatu fenomena yang disebut sebagai online trolling. Dalam buku “Online Trolling and Its Perpetrators: Under the Cyberbridge” yang ditulis oleh Fichman dan Sanfillipo, online trolling adalah suatu perilaku menyimpang di dunia online yang sifatnya mengganggu dan repetitif yang dilakukan kepada individu lain atau suatu kelompok tertentu. Sementara menurut Reddit, yang juga dijadikan acuan oleh buku tersebut, mengatakan online trolling merupakan suatu seni yang dengan sengaja, dengan rahasia, dan dengan cerdik membuat kesal orang lain melalui internet menggunakan dialog. Fenomena ini cenderung terjadi dalam bentuk komunikasi asinkron, yaitu komunikasi yang terjadi tidak bersamaan antara pelakunya.
sumber: Youtube |
Menurut Suler (2004), Online Disinhibition Effect merupakan suatu kondisi dimana seseorang dapat menyatakan perasaan dan emosinya, merasa takut serta menyampaikan keinginannya di dunia maya yang pada umumnya tak mereka sampaikan dalam keseharian mereka. Terdapat beberapa aspek yang ditekankan dalam teori ini. Suler percaya bahwa dalam internet seseorang bisa bersifat baik (benign disinhibition) atau malah sebaliknya dapat menimbulkan kerugian dan keresahan (toxic disinhibition).
Beberapa kecenderungan sikap manusia dijelaskan dalam teori ini. Aspek pertama adalah anonimitas dimana di internet, seseorang dapat merahasiakan identitas aslinya. Kedua adalah aspek invisibility. Hal ini memperlihatkan bahwa seseorang menjadi semakin terbuka atau bertingkah laku lain dari kebiasaan diakibatkan karena internet merupakan ruang yang dapat digunakan tanpa harus menunjukkan diri. Selain itu masih ada beberapa aspek lain namun yang paling relevan untuk menelaah kasus adalah dua efek ini.
Netizen yang berkomentar di kanal apapun pada dasarnya berusaha untuk menyampaikan aspirasinya sebagai masyarakat. Namun apakah aspirasi tersebut disampaikan dengan sebaik-baiknya atau malah cenderung berdampak negatif seperti hadirnya hate speech atau dalam kasus ini Trolling. Akun-akun palsu atau tanpa identitas lengkap yang bermunculan menunjukkan bahwa aspek anonimitas ini dapat dijadikan sebagai salah satu faktor pendorong terjadinya trolling. Begitupun efek invisibility yang mana menjadikan orang semakin lebih leluasa dalam bertindak di internet, termasuk dalam berkomentar untuk menyudutkan orang lain.
sumber: Youtube |
Dalam
sebuah jurnal yang dituliskan oleh Anthony McCosker, beliau mengutip pendapat
Burgess and Green yang menyatakan secara spesifik bahwa Youtube sudah tidak
lagi sebatas platform broadcast
video saja. Youtube
dilihatnya sebagai media
archive dan social networks. Sekarang
siapapun bisa mengutarakan pendapatnya melalui kolom komentar yang disediakan
oleh pihak Youtube. Pengguna Youtube mendapat sebutan “Youtuber” ini
memfasilitasi kebutuhan sosial melalui tiga bentuk partisipasi yaitu like, share dan comment.
Namun
yang perlu menjadi perhatian adalah bahwasannya di Youtube sendiri tidak hanya
komentar positif yang ada, melainkan berbagai macam bentuk komentar lainnya.
Komentar-komentar negatif yang berujung pada tindakan cyberbullying dan trolling pun ditemukan lebih banyak
dibandingkan dengan komentar positif atau komentar yang sifatnya kritik
membangun. McCosker melihatnya dua tindakan tersebut sebagai tindakan
“provokatif”.
Tentu
melihat dari arti kata provokasi sendiri dalam konteks trolling sangatlah
berbahaya. Perlu kita sadari bahwa video ini sudah diunggah empat tahun yang
lalu dan baru viral tahun 2017 ini. Hal ini tentu tidak lepas dari peranan troll yang mencoba membuat sesuatu menjadi
heboh. Tujuan dari para troll disebutkan sebagai to embarrass,
anger and disrupt and it is often undertaken merely for amusement, but
sometimes driven by more “serious” motives.
Akan menjadi suatu permasalahan ketika troll mencoba mempermalukan perilaku anak-anak dalam tayangan tersebut. Pada dasarnya mereka hanya diminta untuk berakting sesuai perannya, namun troll netizen menertawakan hal tersebut seakan-akan hal tersebut lumrah bagi mereka. Anak-anak tersebut mungkin tidak semua menyadari bahwa mereka sedang dipermalukan oleh para troll. Tetapi, ketika suatu saat mereka sadar bahwa mereka sedang dipermalukan akan menjadi suatu permasalahan sendiri. Mental dan kepribadian mereka mungkin sekali akan jatuh dan terpuruk karena sudah menjadi bahan omongan selama ini. Pada akhirnya, dimanakah letak kebebasan berekspresi bagi anak-anak tersebut? Apakah kebebasan tersebut hanyalah sebuah fiksi belaka bagi para troller?
Akan menjadi suatu permasalahan ketika troll mencoba mempermalukan perilaku anak-anak dalam tayangan tersebut. Pada dasarnya mereka hanya diminta untuk berakting sesuai perannya, namun troll netizen menertawakan hal tersebut seakan-akan hal tersebut lumrah bagi mereka. Anak-anak tersebut mungkin tidak semua menyadari bahwa mereka sedang dipermalukan oleh para troll. Tetapi, ketika suatu saat mereka sadar bahwa mereka sedang dipermalukan akan menjadi suatu permasalahan sendiri. Mental dan kepribadian mereka mungkin sekali akan jatuh dan terpuruk karena sudah menjadi bahan omongan selama ini. Pada akhirnya, dimanakah letak kebebasan berekspresi bagi anak-anak tersebut? Apakah kebebasan tersebut hanyalah sebuah fiksi belaka bagi para troller?
Disusun oleh Kelompok 5:
Clarissa Setyadi (1506724392)
G.P. Yuda Prasetia Adhiguna (1506686261)
Nadya Cheirin (1506686255)
Patricia Stella H. (1506685896)
Safira Rivani (1506685883)
Referensi:
- Suler, J. (2004). The online disinhibition effect. Cyberpsychology & behavior, 7(3), 321-326.
- Ina Blau, & Azy Barak. (2012). How Do Personality, Synchronous Media, and Discussion Topic Affect Participation? Journal of Educational Technology & Society, 15(2), 12-24. Retrieved from http://remote-lib.ui.ac.id:2059/stable/jeductechsoci.15.2.12
- Fichman, Pnina. Sanfillipo, Madelyn. (2016). Online Trolling and Its Perpetrators: Under the Cyberbridge (6-7). London: Rowman and Littlefield.
- McCosker, Anthony. 2014. "Trolling as Provocation: Youtube's Agonistic Publics." Convergence: The International Journal of Research into New Media Technologies 201-217.